Siapa yang tak
kenal Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya? Salah satu perguruan
tinggi terbaik yang ada di Indonesia ini berlokasi di Surabaya Timur. Surabaya Timur sendiri merupakan wilayah
bagian Surabaya yang terkenal dengan masyarakat mayoritas ekonomi bawah, tak
terkecuali sekitar ITS. Di kelilingi kampung pemulung seharusnya memaksa
mahasiswa ITS untuk peduli terhadap kehidupan
sosial. Mengingat salah satu 4 peran fungsi mahasiswa adalah sebagai agent of change.
Kehidupan
pemulung di sekitar ITS terbilang cukup miris. Khususnya di daerah Keputih
Tegal dekat terminal Keputih. Semua pemulung di sini berasal dari Madura dan
rata-rata telah menetap di di sana selama lebih dari 10 tahun. “Kalo yang di
kampung lain juga sama mbak, dari Madura semua,” ungkap Minah, salah seorang
pemulung. Meski berdekatan dengan kampus ternama di tanah air, warga kampung
pemulung nyaris tak terjamah teknologi.
Di kampung yang
terdiri dari kurang lebih 15 kepala keluarga ini tidak berpenghasilan harian,
melainkan bulanan. Setiap harinya, mereka mengumpulkan kardus-kardus,
botol-botol, hingga kaleng-kaleng bekas untuk disetorkan ke pengepul. Penghasilan
rata-rata mereka terbilang sangat rendah. Hanya 500.000 per bulan untuk
menghidupi anggota keluarga sekitar tiga hingga empat orang. “Kalo yang
botol-botol plastik gini ya harganya 3000 per kilo, kalo yang kaleng gini ya
paling cuma 1000,” tutur Minah sambil mengelupas kemasan-kemasan botol.
Namun sedikit
banyak, berlokasi dekat kampus ITS membantu mereka secara ekonomi. Ketika
ramadhan dan hari libur misalnya, banyak mahasiswa ITS yang berkunjung untuk
memberikan santunan berupa sembako dan kebutuhan pokok lainnya. “Ya kadang gitu
dibawain beras, mie instant, kadang juga dikasih uang gitu mbak,” ungkap ibu
dua anak tersebut.
Ada sekitar 12
anak usia sekolah tinggal di tempat kumuh tersebut. Mereka tak sekolah.
Alasannya tentu saja masalah ekonomi. Kegiatan sehari-hari mereka hanya bermain
dan membantu orang tua mereka membersihkan hasil memulung. Ya, orang tua mereka
melarang mereka memulung. Siapa yang tega membiarkan anak-anak mereka berjalan
kaki keliling kampung, berpanas-panasan, serta memunguti sampah di sepanjang
jalan.
Di
sisi lain, meski para pemulung ini tak sekolah, mereka sangat berharap
anak-anak mereka dapat mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan jika ada sekolah
gratis di ITS, mereka akan dengan antusias mendaftarkan putra-putri mereka.
Sempat ada beberapa mahasiswa datang untuk mengajar di kampung kecil tersebut,
namun karena tempat yang tidak memadai, para guru harus rela berdesak-desakan
di tempat yang sempit nan pengap. Pemulung di tempat ini berharap ITS mampu
menyediakan tempat maupun tenaga pengajar yang memadai bagi anak-anak mereka.
Agar anak-anak mereka dapat terfasilitasi untuk mengenyam pendidikan secara
layak.