Pages

Ads 468x60px

Labels

Thursday, November 26, 2015

Kisah Pelik di Sekitar Kampus Teknik




Siapa yang tak kenal Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya? Salah satu perguruan tinggi terbaik yang ada di Indonesia ini berlokasi di Surabaya Timur.  Surabaya Timur sendiri merupakan wilayah bagian Surabaya yang terkenal dengan masyarakat mayoritas ekonomi bawah, tak terkecuali sekitar ITS. Di kelilingi kampung pemulung seharusnya memaksa mahasiswa ITS untuk peduli terhadap kehidupan  sosial. Mengingat salah satu 4 peran fungsi mahasiswa adalah sebagai agent of change.
Kehidupan pemulung di sekitar ITS terbilang cukup miris. Khususnya di daerah Keputih Tegal dekat terminal Keputih. Semua pemulung di sini berasal dari Madura dan rata-rata telah menetap di di sana selama lebih dari 10 tahun. “Kalo yang di kampung lain juga sama mbak, dari Madura semua,” ungkap Minah, salah seorang pemulung. Meski berdekatan dengan kampus ternama di tanah air, warga kampung pemulung nyaris tak terjamah teknologi.
Di kampung yang terdiri dari kurang lebih 15 kepala keluarga ini tidak berpenghasilan harian, melainkan bulanan. Setiap harinya, mereka mengumpulkan kardus-kardus, botol-botol, hingga kaleng-kaleng bekas untuk disetorkan ke pengepul. Penghasilan rata-rata mereka terbilang sangat rendah. Hanya 500.000 per bulan untuk menghidupi anggota keluarga sekitar tiga hingga empat orang. “Kalo yang botol-botol plastik gini ya harganya 3000 per kilo, kalo yang kaleng gini ya paling cuma 1000,” tutur Minah sambil mengelupas kemasan-kemasan botol.
Namun sedikit banyak, berlokasi dekat kampus ITS membantu mereka secara ekonomi. Ketika ramadhan dan hari libur misalnya, banyak mahasiswa ITS yang berkunjung untuk memberikan santunan berupa sembako dan kebutuhan pokok lainnya. “Ya kadang gitu dibawain beras, mie instant, kadang juga dikasih uang gitu mbak,” ungkap ibu dua anak tersebut.
Ada sekitar 12 anak usia sekolah tinggal di tempat kumuh tersebut. Mereka tak sekolah. Alasannya tentu saja masalah ekonomi. Kegiatan sehari-hari mereka hanya bermain dan membantu orang tua mereka membersihkan hasil memulung. Ya, orang tua mereka melarang mereka memulung. Siapa yang tega membiarkan anak-anak mereka berjalan kaki keliling kampung, berpanas-panasan, serta memunguti sampah di sepanjang jalan.




Di sisi lain, meski para pemulung ini tak sekolah, mereka sangat berharap anak-anak mereka dapat mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan jika ada sekolah gratis di ITS, mereka akan dengan antusias mendaftarkan putra-putri mereka. Sempat ada beberapa mahasiswa datang untuk mengajar di kampung kecil tersebut, namun karena tempat yang tidak memadai, para guru harus rela berdesak-desakan di tempat yang sempit nan pengap. Pemulung di tempat ini berharap ITS mampu menyediakan tempat maupun tenaga pengajar yang memadai bagi anak-anak mereka. Agar anak-anak mereka dapat terfasilitasi untuk mengenyam pendidikan secara layak.